Senin, 09 Juli 2012

pendidikan islam masa reformasi


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang

Pendidikan di era reformasi lahir sebagai koreksi, perbaikan, dan penyempurnaan atas berbagai kelemahan kebijakan pemerintahan Orde Baru yang dilakukan secara menyeluruh yang meliputi bidang pendidikan, pertahanan, keamanan, agama, sosial, ekonomi, budaya, pendidikan, kesehatan, dan lingkungan. Berbagai kebijakan tersebut diarahkan pada sifatnya yang lebih demokratis, adil, transparan, akuntabel, kredibel, dan bertanggung jawab dalam rangka mewujudkan masyarakat yang adil, makmur, tertib, aman dan sejahtera.
Pendidikan era reformasi telah melahirkan sejumlah kebijakan strategis dalam bidang pendidikan yang pengaruhnya langsung dapat dirasakan oleh masyarakat secara luas dan menyeluruh, bukan hanya bagi sekolah umum yang bernaung dibawah Kementerian Pendidikan Nasional saja, melainkan juga berlaku bagi madrasah dan Perguruan Tinggi yang bernaung di bawah Kementerian Agama.
Dalam makalah ini akan dijelaskan mengenai sejarah pendidikan islam pada masa reformasi.


B.     Rumusan Masalah

a.       Bagaimana politik pendidikan pada masa reformasi?
b.      Bagaimana orientasi pendidikan islam pada masa reformasi?
c.       Bagaimana perkembangan pendidikan islam masa reformasi?






BAB II
PEMBAHASAN

A.    Politik Pendidikan Masa Reformasi

Politik pemerintahanan di era reformasi lebih difokuskan pada perbaikan politik dari masa Orde Baru yang dianggap merugikan masyarakat . Perbaikan politik tersebut antara lain adalah:
1.      Memberikan peluang yang lebih luas kepada masyarakat untuk mengekspresikan kebebasannya, atau menumbuhkan praktek demokrasi dalam politik, ekonomi, pendidikan dan hukum. Demokrasi ini diberikan pada masyarakat karena di zaman Orde Baru peran demokrasi tersebut tidak ada.
2.      Memberikan kebebasan kepada daerah untuk mengatur sebagian wewenangnya dalam penyelenggaraan pemerintahan melalui Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Otonomi Daerah.[1] Kebijakan ini ditempuh karena pada masa pemerintaha Orde Baru menempuh pendidikan yang bersifat sentralisrik, yang segala masalah harus ditentukan dan menunggu petuntuk dari pusat. Pendekatan sentralistik banyak mengandung kelemahan, yaitu memakan waktu, biaya yang tinggi, kurang memberikan peluang kepada pemerintah untuk berinovasi dan nerkreasi, serta mengatas masalah dengan cepat dan tepat sesuai dengan aspirasi yang berkembang di daerah tersebut.
3.      Mengembalikan peran dan fungsi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) kepada tugas utamanya sebagai alat Negara, yang bukan alat penguasa dan harus bekerja secara professional. Apabila ada ABRI yang ingin menjadi anggota DPR/MPR harus melepaskan tugasnya sebagai ABRI. Selain itu ABRI juga harus melepaskan diri dari bidang politik dan bisnis.
4.      Menyelenggarakan pemerintahan yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN), dengan cara membentuk lembaga Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KKN).
5.      Membebaskan pegawai negeri sipil dari kegiatan politik, dan menjadikan Korpri sebagai organisasi pegawai negeri yang professional, mandiri dan lepas dari pengendalian Golkar.
6.      Menciptakan suasana aman, tertib, adil dan sejahtera dengan menciptakan berbagai lapangan pekerjaan bagi masyarakat.
7.      Membebaskan Negara dari beban hutang luar negeri yang melebihi kemampuan untuk membayarnya.
8.      Mengembalikan kedaulatan kepada rakyat, dengan cara menyelenggarakan pemilihan presiden, wakil presiden, gubernur, wakil gubernur, bupati dan walikota secara langsung oleh masyarakat. Pemilihannya bukan lagi oleh DPR/MPR dan DPRD, melainkan dilakukan secara langsung oleh masyarakat melalui Kepanitiaan Pemilihan Umum (KPU) dan diawasi oleh Panitia Pengawasan Pemilu (Panwaslu).

Dengan adanya berbagai perbaikan politik pemerintahan era reformasi di atas, kehidupan masyarakat mengalami perbedaan yang sangat signifikan dibandingkan dengan keadaan sebelumnya. Dengan ditegakkannya demokrasi yang bebas dan bertanggung jawab, di era reformasi ini setiap lembaga penyiaran atau media masa memiliki kebebasan berbicara secara lebih luas. Berbagai kebijakan pemerintah dalam bidang ekonomi, politik, hukum dan lainnya yang dianggap tidak mencerminkan rasa keadilan dapat dibicarakan dan diperdebatkan secara terbuka. Begitupun juga dengan tindakan pelanggaran hukum yang dilakukan para pejabat Negara yang melakukan korupsi, menyalahgunakan jabatannya dapat dilaporkan ke kejaksaan, polisi, da KPK. Berbagai tindakan pelaggaran hak asasi manusia baik yang dilakukan oleh pemerintah maupun yang dilakukan masyarakat umumdapat dilaporkan kepada pihak yang berwajib. Penegakan supermasi hukum pada era reformasi ini dilakukan tanpa pandang bulu.
Seiring dengan adanya Undang-Undang Otonomi Daerah[2], telah menimbulkan suasana kompetisi yang sehat dari masing-masing daerah untuk berkreasi dan berinovasi dalam rangka membangun daerahnya dan memajukan masyarakatnya serta mengejar ketertinggalannya dari pusat dalam segala bidang. Meskipun begitu, peran otonomi daerah masih mempunyai berbagai kekurangan, seperti adanya produk Undang-Undang dan peraturan di daerah yang berengtangan kebijakan pemerintah pusat, Undang-Undang dan peraturan yang dibuat oleh kabupaten atau walikota yang tidak sejalan dengan kebijakn pemerintah tingkat provinsi. Loyalitas antara pemerintah kabupaten atau kota kepada pemerintah tingkat provinsi juga ada yang bertentangan. Namun, dibalik semua kekurangan di atas, Undang-Undang Otonomi Daerah tersebut telah menimbulkan suasana yang kompetitif dikalangan pemarintah daerah untuk memajukan dan mengembangkan daerahnya masing-masing.

B.     Orientasi Pendidikan Islam
Sebagaimana diketahui bahwa orientasi pendidikan Islam berusaha mengubah keadaan sesorang dari tidak tahu menjadi tahu, dan dari tidak dapat berbuat menjadi dapat berbuat. Sehingga dengan pendidikan orang mengerti akan dirinya segala potensi kemanusiaanya, lingkungan masyarakat, alam sekitar dan yang lebih dari semua itu adalah dengan adanya pendidikan manusia dapat menyadari sekaligus menghayati keberadaannya di hadapan khaliknya.
Berbicara pendidikan adalah berbicara keyakinan, pandangan dan cita-cita, tentang hidup dan kehidupan manusia dari generasi kegenerasi maka pengunaan istilah “Pendidikan Islam” atau penambahan kata Islam dibelakang kata “Pendidikan” pada kajian ini meniscayakan bahwa pendidikan Islam tidak dapat dipahami secara terbatas hanya kepada “Pengajaran Islam” mengingat keberhasilan pendidikan Islam tidak cukup diukur hanya dari segi seberapa jauh anak menguasai hal-hal yang bersifat kognitf atau pengetahuan tentang ajaran agama atau bentuk-bentuk ritual keagamaan semata. Justru yang lebih penting adalah seberapa jauh tertanam nilai-nilai keagamaan tersebut dalam jiwa dan seberapa jauh pula nilai-nilai tersebut mewujud dalam sikap dan tikah laku sehari-hari.
Berangkat dari fenomena inilah menarik untuk ulasan selanjutnya perlu dijabarkan bagaimana konsep pendidikan Islam dalam bingkai Pengertian, Fungsi dan Tujuan Pendidikan Islam itu sendiri :
Pengertian Pendidikan Islam
Berangkat dari pemikiran bahwa suatu usaha yang tidak mempunyai tujuan tidak akan mempunyai arti apa-apa. Ibarat seseorang yang bepergian tak tentuh arah maka hasilnya adalah tak lebih dari pengalaman selama perjalanan. Pada dasarnya pendidikan merupakan usaha yang dilakukan sehingga dalam penerapannya ia tak kehilangan arah dan pijakan. Namun sebelum masuk pada pembahasan mengenai fungsi dan tujuan Pendidikan Islam terlebih dahulu perlu dijelaskan apa pengertian Pendidikan Islam.
Pengertian pendidikan Islam yaitu sebuah proses yang dilakukan untuk menciptakan manusia-manusia yang seutuhnya: beriman dan bertaqwa kepada Tuhan serta mampu mewujudkan eksistensinya sebagai khalifah Allah dimuka bumi, yang berdasarkan kepada ajaran Al-qur’an dan Sunnah, maka tujuan dalam konteks ini terciptanya insan kamil setelah proses pendidikan berakhir.[3]
Prof. H. Muhamad Daud Ali, S.H. berpendapat bahwa pendidikan adalah usaha sadar yang dilakukan oleh manusia untuk mengembangkan potensi manusia lain atau memindahkan nilai-nilai yang dimilikinya kepada orang lain dalam masyarakat.[4]  Proses pemindahan nilai itu dapat dilakukan dengan berbagai cara, diantaranya adalah:
pertama melalui pengajaran yaitu proses pemindahan nilai berupa (Ilmu) pengetahuan dari seorang guru kepada murid-muridnya  dari suatu generasi kegenerasi berikutnya.
kedua melalui pelatihan yang dilaksanakan dengan jalan membiasakan seseorang melakukan pekerjaan tertentu untuk memperoleh keterampilan mengerjakan pekerjaan tersebut.
ketiga melalui indoktrinnasi yang diselenggarakan agar orang meniru atau mengikuti apa saja yang diajarkan orang lain tanpa mengijinkan si penerima tersebut mempertanyakan nilai-nilai yang diajarkan.
Terkadang apabila ingin membahas seputar Islam dalam Pendidikan merupakan suatu hal yang sangat menarik terutama dalam kaitannya dengan upaya pembangunan Sumber Daya Manusia muslim, sebagaimana Islam di pahami sebagai pegangan hidup yang diyakini mutlak kebenarannya akan merai arah dan landasan etis serta moral pendidikan, atau dengan kata lain hubungan antara Islam dan pendidikan bagaikan dua sisi keping mata uang. Artinya, Islam dan pendidikan mempunyai hubungan filosofis yang sangat mendasar baik secara ontologis, epistimologis maupun aksiologis.
Pemikiran di atas sejalan dengan falsafah bahwa sebuah usaha yang tidak mempunyai tujuan tidak akan mempunyai arti apa-apa. Ibarat seseorang yang bepergian tak tentu arah maka hasilnya adalah tidak lebih dari pengalaman selama perjalanan. Pada dasarnya pendidikan merupakan usaha yang dilakukan sehingga dalam penerapannya ia tak kehilangan arah dan pijakan. Namun sebelum masuk dalam pembahasan mengenai fungsi dan tujuan pendidikan Islam terlebih dahulu perlu dijelaskan apa pengertian Pendidikan Islam itu sendiri.
Zarkowi Soejati dalam makalahnya yang berjudul “Model-model Perguruan Tinggi Islam”  mengemukakan pendidikan Islam paling tidak mempunyai tiga pengertian. Pertama; lembaga pendidikan Islam itu pendirian dan penyelenggaraannya didorong oleh hasrat mengejawantahkan nilai-nilai Islam yang tercermin dalam nama lemabaga pendidikan itu dan kegiatan-kegiatan yang diselenggarakan.
Kedua; lembaga pendidikan memberikan perhatian dan menyelenggarakan kajian tentang Islam yang tercermin dalam program sebagai ilmu yang diperlukan seperti ilmu-ilmu lain yang menjkadi program kajian lembaga pendidikan Islam yang bersangkutan.
Ketiga; mengandung kedua pengertian di atas dalam arti lembaga tersebut memperlakukan Islam sebagai sumber nilai bagi sikap dan tingkah laku yang harus tercermin dalam penyelenggaraannya maupun sebagai bidang kajian yang tercermin dalam program kajiannya.[5]
Konsep pendidikan Islam sebagaimana dikemukakan Zarkowi Soejati tersebut, terkesan sederhana dan belum terlalu luas cakupannya, namun paling tidak konsep ini bisa diterapkan dalam upaya peningkatan sumberdaya manusia melalui pencerminan penyelenggaraan pendidikan dan program kajian yang bernuansa Islami dalam proses pemindahan nilai-nilai yang dimiliki dan dapat dibawah ke-masyarakat.
Adapun pendapat lain mengatakan bahwa pengertian pendidikan Islam yaitu sebuah proses yang dilakukan untuk menciptakan manusia-manusia yang seutuhnya : beriman dan bertaqwa kepada Tuhan serta mampu mewujudkan eksistensinya sebagai khalifah Allah di muka bumi, yang berdasarkan kepada ajaran Al-qur’an dan As-sunnah, maka tujuan dan konteks ini terciptanya manusia seutuhnya “Insan Kamil”, setelah proses pendidikan berakhir.
Sebagaimana di tegaskan dalam Al-qur’an :
Artinya :
“Sesunggunya kami telah menciptakan manusia dalam bentuk sebaik-baiknya.”
Dalam artian bahwa pendidikan Islam adalah proses penciptaan manusia yang memilki kepribadian serta berakhlakul karimah “Akhlak Mulia” sebagai makhluk pengemban amanah di bumi.
Maka Pendidikan Islam adalah pendidikan yang mampu menyiapkan kader-kader khalifah, sehingga secara fungsional keberadaannya menjadi pemeran utama terwujudnya tatanan dunia yang rahmatan lil–‘alamin. Ditambahkan lagi bahwa pendidikan Islam adalah pendidikan yang berwawasan semesta, berwawasan kehidupan yang utuh dan multi dimensional, yang meliputi wawasan tentang Tuhan, manusia dan alam secara integratif.
2.      Tujuan dan Fungsi Pendidikan Islam
Sebelum lebih jauh menjelaskan tujuan pendidikan Islam terlebih dahulu apa sebenarnya makna dari “tujuan” tersebut. Secara etimologi tujuan adalah “arah, maksud atau haluan.[6] Termminologinya tujuan berarti sesuatu diharapkan tercapai setelah sebuah usaha atau kegiatan selesai. Oleh H.M. Arifin menyebutkan, bahwa  tujuan proses pendidikan Islam adalah “idealitas” (cita-cita) yang mengandung nilai-nilai Islam yang hendak dicapai dalam proses kependidikan yang berdasarkan ajaran Islam secara bertahap.
Maka secara umum, tujuan pendidikan Islam terbagi kepada: pertama tujuan umum adalah tujuan yag akan dicapai dengan semua kegiatan pendidikan baik pengajaran atau dengan cara lain. kedua, tujuan sementara adalah tujuan yang akan dicapai setelah anak didik diberi sejumlah pengalaman tertentu yang direncanakan dalam sebuah kurikulum. ketiga, tujuan akhir adalah tujuan yang dikehendaki agar peserta didik menjadi manusia-manusia sempurna (insan kamil) setelah ia menghabisi sisa hidupnya. Sementara keempat  tujuan oprasional adalah tujuan praktis yang akan dicapai dengan sejumlah kegiatan pendidikan tertenru.
Sementara itu dalam Konferensi Internasional Pertama tentang Pendidikan Islam di Mekah pada tahun 1977 merumuskan tujuan pendidikan Islam sebagai berikut :
“Pendidikan bertujuan mencapai pertumbuhan kepribadian manusia yang menyeluruh secara seimbang melalui latihan jiwa, intelek, diri manusia yang rasional perasaan dan indera. Oleh karena itu pendidikan harus mencakup  pertumbuhan manusia dalam segala aspeknya: spritual, intelektual, imajinatif, fisik, ilmiah, bahasa, baik secara individu maupun secara kolektif, dan mendorong semua aspek ini ke arah kebaikan untuk mencapai kesempurnaan. Tujuan akhir pendidikan muslim terletak pada perwujudan ketundukkan yang sempurna kepada Allah baik secara pribadi, komunitas, maupun seluruh umat manusia”.[7]
Konsep di atas sejalan dengan rumusan tujuan pendidikan Islam, yaitu  meningkatkan keimanan, pemahaman, penghayatan dan pengalaman anak tentang Islam, sehingga menjadi manusia muslim yang beriman dan bertaqwa kepada Allah swt serta berakhlak mulia dalam kehidupan pribadi, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Sehingganya dalam konteks ini pendidikan Islam haruslah senantiasa mengorientasikan diri kepada menjawab kebutuhan dan tantangan yang muncul dalam masyarakat kita sebagai konsekuensi logis dari perubahan.
Dapat pula katakan, bahwa tujuan pendidikan Islam adalah kepribadian muslim, yaitu sesuatu kepribadian yang seluruh aspeknya dijiwai oleh ajaran Islam. Orang yang dalam kepribadian muslim dalam Al-qur’an disebut “Muttaqin” karena itu Pendidikan Islam berarti pula pembentukan manusia yang bertakwa, sebagaimana konsep pendidikan nasional yang dituangkan dalam tujuan pendidikan nasional yang akan membentuk manusia pancasila yang bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Dengan demikian jika dilakukan rekonstruksi, maka menurut Islam ilmu yang selayaknya dikuasai manusia merupakan perpaduan dari ilmu – ilmu yang diperoleh manusia melalui kawasan alam semesta dengan ilmu yang dikirim melalui wahyu yang dapat ditangkap oleh para nabi dan rasul. Dalam perspektif  pendidikan Islam yang menyiapkan manusia agar dapat melakukan perannya, baik sebagai khalifah maka  ilmu yang wajib dituntut adalah ilmu yang sifatnya terpadu, dan inilah ciri khas pendidikan Islam.
Dilihat dari tujuan pendidikan di atas maka dengan sendirinya terimplisit fungsi pendidikan Islam. Dapat diartikan fungsi Pendidikan Islam adalah untuk menjaga keutuhan unsur–unsur individu anak didik  dengan mengoptimalkan potensinya dalam garis keridhaan Allah, serta mengoptimalkan perkembangannya untuk bertahan hidup terhadap aspek keterampilan setiap anak. Pendidikan Islam adalah pendidikan terbuka. Artinya Islam mengakui adanya perbedaan, akan tetapi perbedaannya yang hakiki ditentukan oleh amalnya. Oleh karena itu pendidikan Islam pada dasarnya terbuka, demokratis, dan universal. Keterbukaan tersebut ditandai dengan kelenturan untuk mengadopsi (menyerap) unsur–unsur positif dari luar, sesuai perkembangan dan kebutuhan masyarakatnya, dan tetap menjaga dasar–dasarnya yang original yang bersumber pada Al-Qur’an dan Al-hadits.
Singkatnya, pendidikan Islam secara ideal berfungsi membina dan menyiapkan anak-anak dalam keluarga termasuk anak didik yang berilmu, berteknologi, berketerampilan tinggi dan sekaligus beriman dan beramal saleh. Oleh karena itu penjabaran materi pendidikan Islam  tidak hanya berkisar pada hal–hal yang berkaitan dengan masalah–masalah ubudiyah yang khas  (khusus) seperti shalat, puasa, zakat, haji dan lain–lain, akan tetapi ubudiyah yang lebih umum dan luas, yaitu pengembangan ilmu sosial sehingga anak dapat berinteraksi dengan lingkungannya secara baik maupun pengembangan pengetahuan dan teknologi yang sangat bermanfaat dalam meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan.
Dengan demikian pendidikan menyandang misi keseluruhan aspek kebutuhan hidup serta perubahan-perubahan yang terjadi.
C.    Perkembangan Pendidikan Islam pada Masa Reformasi
Sejalan dengan adanya berbagai perbaikan politik tersebut di atas, telah menimbulkan
keadaan pendidikan islam era reformasi  keadaannya jauh lebih baik dari keadaan pemerintah era Orde Baru. Karena dibentuknya kebijakan-kebijakan pendidikan islam era reformasi, kebijakan itu antara lain:

Pertama
, kebijakan tentang pemantapan pendidikan islam sebagai bagian dari System pendidikan nasional. Upaya ini dilakukan melalui penyempurnaan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1989 menjadi Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang system pendidikan nasional.Jika pada Undang-Undang No 2 Tahun 1989 hanya menyebutkan madrasah saja yang masuk dalam system pendidikan nasional, maka pada Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 manyebutkan pesantren, ma’had Ali, Roudhotul Athfal (Taman Kank-Kanak) dan Majlis Ta’lim termasuk dalam system pendidikan nasional.[8] Dengan masuknya pesantren, ma’had Ali, Roudhotul Athfal (Taman Kank-Kanak) dan Majlis Ta’lim ke dalam system pendidikan nasional ini, maka selain eksistensi dan fungsi pendidikan islam semakin diakui, juga menghilangkan kesan dikotomi dan diskriminasi. Sejalan dengan itu, maka berbagai perundang-undangan dan peraturan tentang standar nasional pendidikan tentang srtifikasi Guru dan Dosen, bukan hanya mengatur tentang Standar Pendidikan, Sertifikasi Guru dan Dosen yang berada di bawah Kementerian Pendidikan Nasional saja, melainkan juga tentang Standar Pendidikan, Sertifikasi Guru dan Dosen yang berada di bawah Kementerian Agama.
Kedua, kebijakan tentang peningkatan anggaran pendidikan. Kebijakan ini misalnya terlihat pada ditetapkannya anggaran pendidikan islam 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang di dalamnya termasuk gaji Guru dan Dosen, biaya operasional pendidikan, pemberian beasisiwa bagi siswa kurang mampu, pengadaan buku gratis, infrastruktur, sarana prasarana, media pembelajaran, peningkatan sumber daya manusia bagi lembaga pendidikan yang bernaung di bawah Kementerian Agama dan Kementerian Pendidikan Nasional. Dengan adanya anggaran pendidikan yang cukup besar ini, pendidikan saat ini mengalami pertumbuhan, perkembangan, dan kemajuan yang signifikan dibandingkan dengan keadaan pendidikan sebelumnya, termasuk keadaan pendiidkan islam.

Ketiga, program wajib belajar 9 tahun, yaitu setiap anak Indonesia wajib memilki pendidikan minimal sampai 9 tahun. Program wajib belajar ini bukan hanya berlaku bagi anak-anak yang berlaku bagi anak-anak yang belajar di lembaga pendidikan yang berada di bawah naungan Kementeria Pendidikan Nasional, melainkan juga bagi anak-anak yang belajar di lembaga pendidikan yang berada di bawah naungan Kementerian Pendidikan Agama.
Keempat, penyelenggaraan Sekolah Bertaraf Nasional (SBN), Sekolah Bertaraf Internasional (SBI), yaitu pendidikan yang seluruh komponen pendidikannya menggunakan standar nasional dan internasional. Dalam hal ini, pemerintah telah menetapkan, bagi sekolah yang akan ditetapkan menjadi SBI harus terlebih dahulu mencapai sekolah bertaraf SBN. Sekolah yang bertaraf nasional dan internasional ini bukan hanya terdapat pada sekolah yang bernaung di bawah Kementerian Pendidikan Nasional, melainkan juga pada sekolah yamg bernaung di bawah Kementerian Agama.
Kelima, kebijakn sertifikasi bagi semua Guru dan Dosen baik Negeri maupun Swasta, baik umum maupun Guru agama, baik Guru yang berada di bawah naungan Kementerian Pendidikan Nasional maupun Guru yang berada di bawah Kementerian Pendidikan Agama. Program ini terkait erat dengan peningkatan mutu tenaga Guru dan Dosen sebagai tenaga pengajar yang profesional. Pemerintah sangat mendukung adanya program sertifikasi tersebut dengan mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 74 tahun 2005 tentang sertifikasi Guru dan Dosen, -juga mengalokasikan anggaran biayanya  sebesar 20% dari APBN. Melalui program sertifikasi tersebut, maka kompetensi akademik, kompetensi pedagogik (teaching skill), kompetensi kepribadian dan kompetensi sosial para Guru dan Dosen ditingkatkan.
Keenam, pengembangan kurikulum berbasis kompetensi (KBK/tahun 2004) dan kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP/tahun 2006). Melalui kurikulum ini para peserta didik tidak hanya dituntut menguasai mata pelajaran (subject matter)`sebagaimana yang ditekankan pada kurikulum 1995,[9] melainkan juga dituntut memilki pengalaman proses mendapatkan pengetahuan tersebut, seperti membaca buku, memahami, menyimpulkan, mengumpulkan data, mendiskusikan, memecahkan masalah dan menganalisis. Dengan cara demikian para peserta didik diharapkan akan memiliki rasa percaya diri, kemampuan mengemukakan pendapat, kritis, inovatif, kreatif dan mandiri. Peserta didik yang yang demikian itulah yang diharapkan akan dapat menjawab tantangan era globalisasi, serta dapat merebut berbagai peluang yang terdapat di masyarakat.
Ketujuh, pengembangan pendekatan pembelajaran yang tidak hanya terpusat pada Guru (teacher centris) melalui kegiatan teachimg, melainkan juga berpusat pada murid (student centris) melalui kegiatan learnig (belajar) dan research (meneliti) dalam suasana yang partisipatif, inovatif, aktif, kreatif, efektif, dan menyenangkan. Dengan pendekatan ini metode yang digunakan dalam kegiatan belajar mengajar bukan hanya ceramah, seperti diskusi, seminar, pemecahan masalah, penugasan dan penemuan. Pendekatan proses belajar mengajar ini juga harus didasarkan pada asas demokratis, humanis dan adil, dengan cara menjadikan peserta didik bukan hanya menjadi objek pendidikan melainkan  juga sebagai subjek pendidikan yang berhak mengajukan saran dan masukan tentang pendekatan dan metode pendidikan.[10]
Kedelapan, penerapan manajemen yang berorientasi pada pemberian pelayanan yang naik dan memuaskan (to give good service and satisfaction for all customers). Dengan pandangan bahwa pendidikan adalah sebuah komoditas yang diperdagangkan, agar komoditas tersebut menarik minat, maka komoditas tersebut harus diproduksi dengan kualitas yang unggul. Untuk itu seluruh komponen pendidikan harus dilakukan standarisasi. Standar tersebut harus dikerjakan oleh sumber daya manusia yang unggul, dilakukan perbaikan terus menerus, dan dilakukan pengembangan sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Berkaitan dengan ini, maka di zaman reformasi ini telah lahir Peraturan Pemerintah Nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan (SNP) yang meliputi :
1.    Standar Isi (kurikulum)
2.    Standar Mutu Pendidikan
3.    Standar Proses Pendidikan
4.    Standar Pendidik dan tenaga kependidikan
5.    Standar Pengelolaan
6.    Standar Pembiayaan
7.    Standar Penilaian.[11]
Kesembilan, kebijakan mengubah sifat madrasah menjadi sekolah umum yang berciri khas keagamaan. Dengan ciri ini, maka madrasah menjadi sekolah umum plus. Karena di madrasah (Ibtidaiyah, Tsanawiyah dan Aliyah) ini, selain para siswa memperoleh pelajaran umum yang terdapat pada sekolah umu seperti SD, SMP, dan SMU. Dengan adanya kebijakan tersebut, maka tidaklah mustahil jika suatu saat madrasah akan menjadi pilihan utama masyarakat.
Seiring dengan lahirnya berbagai kebijakan pemerintah tentang pendidikan nasional telah disambut positif dan penuh optimisme oleh seluruh lapisan masyarakat, terutama para pengelola pendidikan. Berbagai inovasi dan kreatifitas dalam mengembangkan komponen-komponen pendidikan  telah bangyak bermunculan di lembaga pendidikan. Melalui dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) telah memberi peluang bagi masyarakat yang kurang mampu untuk menyekolahkan putra putrinya. Melalui program sertifikasi Guru dan Dosen telah menimbulkan perhatian kepada para Guru dan Dosen untuk melaksanakan tugasnya dengan baik. Melalui program Kuirkulum Berbasis Kompetensi (KBK) dan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) telah melahirkan suasana akademik dan dan proses belajar mengajar yang lebih kreatif, inovatif dan mandiri. Demikian juga dengan adanya Standar Nasional Pendidikan telah timbul kesadaran gagi kalangan para pengelola pendidikan untuk melakukan akreditasi terhadap program  studi yang dilaksanakan.



kesimpulan
D.   Penutup
Berdasarkan uraian dan analisis sebagaimana tersebut diatas, maka dapat di kemukakan beberapa catatan penutup sebagai berikut.
Pertama, pemerintah di era reformasi lahir sebagai koreksi, perbaiakan, dan penyempurnaan atas berbagai kelemahan kebijakan pemerintah Orde Baru yang dilakukan secarah menyeluruh, yang meluputi bidang politik, pendidikan, kesehatan, dan lingkungan. Berbagai kebijakan tersebut diarahkan pada sifat yang lebih demokratis, adil, transparan, akuntabel, bertanggung jawab dan  fairness dalam rangka mewujudkan masyarakat yang adil, makmur, tertib, aman, dan sejahterah.
Kedua, Pendidikan bertujuan mencapai pertumbuhan kepribadian manusia yang menyeluruh secara seimbang melalui latihan jiwa, intelek, diri manusia yang rasional perasaan dan indera. Dengan demikian pendidikan menyandang misi keseluruhan aspek kebutuhan hidup serta perubahan-perubahan yang terjadi, dan pemerintahan di era reformasi teleh melehirkan sejumlah kebijakan strategis dalam bidang pendidikan yang pengaruhnya langsung dapat dirasakan masyarakat.yaitu, kebijakan tentang pembaruan Undang-undang sistem pendidikan nasional dari Undang-undang Nomor 2 Tahun 1989 menjadi Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 peningkatan jumlah anggaran pendidikan yang amat signifikan, yakni dari yang semula hanya 5% menjadi 20% dari total anggaran APBN, perubahan kurikulum dari subjek matter ke arah pengembangan para kompetensi para lulusan, peningkatan mutu pendidikan melalui program sertifikasi, perubahan paradigma strategi, pendekatan dan metode pembelajaran ke arah yang lebih terpusat pada peserta didik (studen center).
Ketiga, barbagai kebijakan pemerintahan era roformasi dalam bidang pendidikan tersebut berlaku bukan hanya bagi sekolah umum yang bernaung di bawah kementrian pendidkan nasional saja, melainkan juga berlakau bagi madrasah dan perguruan tinggi agama yang bernaung di bawah kementrian agama.dengan demikian kesan dikotomis antar pendidikan agama dan pendidikan umum, dan kesan perlakuan diskriminasi pemerintah terhadap pendidikan agama sudah tidak tampak lagi.
Daftar pustaka

DR. Armai Arif, M. A. Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam (Jakarta : Ciputat Pers, 2002)

Prof. H. Muhamad Daud Ali S.H. dan Hj. Habiba Daud S.H. Lembaga-lembaga Islam di Indonesia (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 1995)

Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka 1995)

Undang-undang republik indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional, (jakarta: departemen pendidikan nasional, tahun 2003)

A. Malik Fajar, Reorientasi Pendidikan Islam,  (Jakarta : Fajar Dunia, 1999),

Prof. Dr. H. Abuddin Nata, M.A. sejarah pendidikan islam,(jakarta: kencana 2011)

http//www.geoogle.com





[1] Dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2005  tentang Otonomi Daerah dinyatakan, bahwa pemerintah daerah memiliki wewenang untuk mengatur berbagai urusan pemerintahan, kecuali 5 hal yang masih bersifat sentralistik. Yaitu: (1) departemen agama (2) departemen keuangan (3) departemen luar negeri (4) departemen pertahanan keamanan (5) departemen kehakiman.   
[2] Lahirnya  Undang-Undang Otonomi Daerah adalah dalam rangka koreksi atas penyimpangan yang dilakukan Orde Baru dalam pengaturan pemerintahan dengan UU Nomor 5 Tahun 1974. Undang-Undang Otonomi Daerah tersebut adalah Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang pemerintahan daerah, serta UU  Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah.
[3] DR. Armai Arif, M. A. Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam (Jakarta : Ciputat Pers, 2002), h. 16.
[4] Prof. H. Muhamad Daud Ali S.H. dan Hj. Habiba Daud S.H. Lembaga-lembaga Islam di Indonesia (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 1995), h. 137
[5] A. Malik Fajar, Reorientasi Pendidikan Islam,  (Jakarta : Fajar Dunia, 1999), h. 31
[6] Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka 1995), edisi ke-2, Cet, ke-4, h. 1077  
[7] Azyumardi Azra, opcit., h. 57
[8] Perubahan Undang-Undang Nomor 2 tahun 1989 menjadi Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang terdapat kekurangan atau kelemahan pada UU No 2  Tahun 1989, yaitu: (1) Sistem Pendidikan Nasional yang bersifat sentralistik; (2)belum menghasilkan lulusan pendidikan yang bermutu dan bersaing dengan negara lain; (3)belum mengemban misi pendidikan untuk semua; (4) belum dapat mendukung lahirnya peserta didik yang berakhlak mulia; (5)belum memperhatikan keadaan masyarakat Indonesia yang heterogen dan multikulttural; (6)belum dilaksakan secara profesional.
[9] Pada kurikulum tahun 1995 menekankan pada punguasaan materi pelajaran sebanyak-banyaknya tanpa disertai dengan keterampilan proses memahami dan mempraktekkan materi pelajaran tersebut. Kurikulum yang demikian menyebabkan lahirnya para lulusan yang tidak memiliki kompetensi yang diperlukan untuk membangun manusia yang aktif dan kreatif.
[10] Agar pendekatan dapat diwujudkan, maka perlu adanya perubahan metode belajar mengajar pada pendekatan kita, yaitu: (1) mengubah cara belajar dari model warisan menjadi memecahkan masalah; (2)dari hafalan ke dialog; (3) dari pasif ke heuristic; (4) dari strategi menguasai materi sebanyak-banyaknya menjadi menguasai metodologi yang kuat.
[11]  Lihat Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, (2005, Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional).

3 komentar: