BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Pendidikan di era
reformasi lahir sebagai koreksi, perbaikan, dan penyempurnaan atas berbagai
kelemahan kebijakan pemerintahan Orde Baru yang dilakukan secara menyeluruh
yang meliputi bidang pendidikan, pertahanan, keamanan, agama, sosial, ekonomi,
budaya, pendidikan, kesehatan, dan lingkungan. Berbagai kebijakan tersebut diarahkan
pada sifatnya yang lebih demokratis, adil, transparan, akuntabel, kredibel, dan
bertanggung jawab dalam rangka mewujudkan masyarakat yang adil, makmur, tertib,
aman dan sejahtera.
Pendidikan era
reformasi telah melahirkan sejumlah kebijakan strategis dalam bidang pendidikan
yang pengaruhnya langsung dapat dirasakan oleh masyarakat secara luas dan
menyeluruh, bukan hanya bagi sekolah umum yang bernaung dibawah Kementerian
Pendidikan Nasional saja, melainkan juga berlaku bagi madrasah dan Perguruan
Tinggi yang bernaung di bawah Kementerian Agama.
Dalam makalah ini
akan dijelaskan mengenai sejarah pendidikan islam pada masa reformasi.
B.
Rumusan
Masalah
a.
Bagaimana
politik pendidikan pada masa reformasi?
b.
Bagaimana
orientasi pendidikan islam pada masa reformasi?
c.
Bagaimana
perkembangan pendidikan islam masa reformasi?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Politik
Pendidikan Masa Reformasi
Politik pemerintahanan di era reformasi
lebih difokuskan pada perbaikan politik dari masa Orde Baru yang dianggap
merugikan masyarakat . Perbaikan politik tersebut antara lain adalah:
1.
Memberikan peluang yang lebih luas
kepada masyarakat untuk mengekspresikan kebebasannya, atau menumbuhkan praktek
demokrasi dalam politik, ekonomi, pendidikan dan hukum. Demokrasi ini diberikan
pada masyarakat karena di zaman Orde Baru peran demokrasi tersebut tidak ada.
2.
Memberikan kebebasan kepada daerah untuk
mengatur sebagian wewenangnya dalam penyelenggaraan pemerintahan melalui
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Otonomi Daerah.[1]
Kebijakan ini ditempuh karena pada masa pemerintaha Orde Baru menempuh
pendidikan yang bersifat sentralisrik, yang segala masalah harus ditentukan dan
menunggu petuntuk dari pusat. Pendekatan sentralistik banyak mengandung
kelemahan, yaitu memakan waktu, biaya yang tinggi, kurang memberikan peluang
kepada pemerintah untuk berinovasi dan nerkreasi, serta mengatas masalah dengan
cepat dan tepat sesuai dengan aspirasi yang berkembang di daerah tersebut.
3.
Mengembalikan peran dan fungsi Angkatan
Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) kepada tugas utamanya sebagai alat Negara,
yang bukan alat penguasa dan harus bekerja secara professional. Apabila ada
ABRI yang ingin menjadi anggota DPR/MPR harus melepaskan tugasnya sebagai ABRI.
Selain itu ABRI juga harus melepaskan diri dari bidang politik dan bisnis.
4.
Menyelenggarakan pemerintahan yang
bersih dan bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN), dengan cara membentuk
lembaga Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) dan Komisi Pemberantasan
Korupsi (KKN).
5.
Membebaskan pegawai negeri sipil dari
kegiatan politik, dan menjadikan Korpri sebagai organisasi pegawai negeri yang
professional, mandiri dan lepas dari pengendalian Golkar.
6.
Menciptakan suasana aman, tertib, adil
dan sejahtera dengan menciptakan berbagai lapangan pekerjaan bagi masyarakat.
7.
Membebaskan Negara dari beban hutang
luar negeri yang melebihi kemampuan untuk membayarnya.
8.
Mengembalikan kedaulatan kepada rakyat,
dengan cara menyelenggarakan pemilihan presiden, wakil presiden, gubernur,
wakil gubernur, bupati dan walikota secara langsung oleh masyarakat.
Pemilihannya bukan lagi oleh DPR/MPR dan DPRD, melainkan dilakukan secara
langsung oleh masyarakat melalui Kepanitiaan Pemilihan Umum (KPU) dan diawasi
oleh Panitia Pengawasan Pemilu (Panwaslu).
Dengan
adanya berbagai perbaikan politik pemerintahan era reformasi di atas, kehidupan
masyarakat mengalami perbedaan yang sangat signifikan dibandingkan dengan
keadaan sebelumnya. Dengan ditegakkannya demokrasi yang bebas dan bertanggung
jawab, di era reformasi ini setiap lembaga penyiaran atau media masa memiliki
kebebasan berbicara secara lebih luas. Berbagai kebijakan pemerintah dalam
bidang ekonomi, politik, hukum dan lainnya yang dianggap tidak mencerminkan
rasa keadilan dapat dibicarakan dan diperdebatkan secara terbuka. Begitupun
juga dengan tindakan pelanggaran hukum yang dilakukan para pejabat Negara yang
melakukan korupsi, menyalahgunakan jabatannya dapat dilaporkan ke kejaksaan,
polisi, da KPK. Berbagai tindakan pelaggaran hak asasi manusia baik yang
dilakukan oleh pemerintah maupun yang dilakukan masyarakat umumdapat dilaporkan
kepada pihak yang berwajib. Penegakan supermasi hukum pada era reformasi ini
dilakukan tanpa pandang bulu.
Seiring
dengan adanya Undang-Undang Otonomi Daerah[2],
telah menimbulkan suasana kompetisi yang sehat dari masing-masing daerah untuk
berkreasi dan berinovasi dalam rangka membangun daerahnya dan memajukan
masyarakatnya serta mengejar ketertinggalannya dari pusat dalam segala bidang. Meskipun
begitu, peran otonomi daerah masih mempunyai berbagai kekurangan, seperti
adanya produk Undang-Undang dan peraturan di daerah yang berengtangan kebijakan
pemerintah pusat, Undang-Undang dan peraturan yang dibuat oleh kabupaten atau
walikota yang tidak sejalan dengan kebijakn pemerintah tingkat provinsi.
Loyalitas antara pemerintah kabupaten atau kota kepada pemerintah tingkat
provinsi juga ada yang bertentangan. Namun, dibalik semua kekurangan di atas,
Undang-Undang Otonomi Daerah tersebut telah menimbulkan suasana yang kompetitif
dikalangan pemarintah daerah untuk memajukan dan mengembangkan daerahnya
masing-masing.
B.
Orientasi
Pendidikan Islam
Sebagaimana
diketahui bahwa orientasi pendidikan Islam berusaha mengubah keadaan sesorang
dari tidak tahu menjadi tahu, dan dari tidak dapat berbuat menjadi dapat
berbuat. Sehingga dengan pendidikan orang mengerti akan dirinya segala
potensi kemanusiaanya, lingkungan masyarakat, alam sekitar dan yang lebih dari
semua itu adalah dengan adanya pendidikan manusia dapat menyadari sekaligus
menghayati keberadaannya di hadapan khaliknya.
Berbicara pendidikan adalah berbicara keyakinan, pandangan dan cita-cita, tentang hidup dan kehidupan manusia dari generasi kegenerasi maka pengunaan istilah “Pendidikan Islam” atau penambahan kata Islam dibelakang kata “Pendidikan” pada kajian ini meniscayakan bahwa pendidikan Islam tidak dapat dipahami secara terbatas hanya kepada “Pengajaran Islam” mengingat keberhasilan pendidikan Islam tidak cukup diukur hanya dari segi seberapa jauh anak menguasai hal-hal yang bersifat kognitf atau pengetahuan tentang ajaran agama atau bentuk-bentuk ritual keagamaan semata. Justru yang lebih penting adalah seberapa jauh tertanam nilai-nilai keagamaan tersebut dalam jiwa dan seberapa jauh pula nilai-nilai tersebut mewujud dalam sikap dan tikah laku sehari-hari.
Berangkat dari fenomena inilah menarik untuk ulasan selanjutnya perlu dijabarkan bagaimana konsep pendidikan Islam dalam bingkai Pengertian, Fungsi dan Tujuan Pendidikan Islam itu sendiri :
Berbicara pendidikan adalah berbicara keyakinan, pandangan dan cita-cita, tentang hidup dan kehidupan manusia dari generasi kegenerasi maka pengunaan istilah “Pendidikan Islam” atau penambahan kata Islam dibelakang kata “Pendidikan” pada kajian ini meniscayakan bahwa pendidikan Islam tidak dapat dipahami secara terbatas hanya kepada “Pengajaran Islam” mengingat keberhasilan pendidikan Islam tidak cukup diukur hanya dari segi seberapa jauh anak menguasai hal-hal yang bersifat kognitf atau pengetahuan tentang ajaran agama atau bentuk-bentuk ritual keagamaan semata. Justru yang lebih penting adalah seberapa jauh tertanam nilai-nilai keagamaan tersebut dalam jiwa dan seberapa jauh pula nilai-nilai tersebut mewujud dalam sikap dan tikah laku sehari-hari.
Berangkat dari fenomena inilah menarik untuk ulasan selanjutnya perlu dijabarkan bagaimana konsep pendidikan Islam dalam bingkai Pengertian, Fungsi dan Tujuan Pendidikan Islam itu sendiri :
Pengertian Pendidikan Islam
Berangkat
dari pemikiran bahwa suatu usaha yang tidak mempunyai tujuan tidak akan
mempunyai arti apa-apa. Ibarat seseorang yang bepergian tak tentuh arah maka
hasilnya adalah tak lebih dari pengalaman selama perjalanan. Pada dasarnya
pendidikan merupakan usaha yang dilakukan sehingga dalam penerapannya ia tak
kehilangan arah dan pijakan. Namun sebelum masuk pada pembahasan mengenai
fungsi dan tujuan Pendidikan Islam terlebih dahulu perlu dijelaskan apa
pengertian Pendidikan Islam.
Pengertian
pendidikan Islam yaitu sebuah proses yang dilakukan untuk menciptakan
manusia-manusia yang seutuhnya: beriman dan bertaqwa kepada Tuhan serta mampu
mewujudkan eksistensinya sebagai khalifah Allah dimuka bumi, yang berdasarkan
kepada ajaran Al-qur’an dan Sunnah, maka tujuan dalam konteks ini terciptanya insan
kamil setelah proses pendidikan berakhir.[3]
Prof.
H. Muhamad Daud Ali, S.H. berpendapat bahwa pendidikan adalah usaha sadar yang
dilakukan oleh manusia untuk mengembangkan potensi manusia lain atau
memindahkan nilai-nilai yang dimilikinya kepada orang lain dalam masyarakat.[4]
Proses pemindahan nilai itu dapat dilakukan dengan berbagai cara, diantaranya
adalah:
pertama
melalui pengajaran yaitu proses pemindahan nilai berupa (Ilmu) pengetahuan dari
seorang guru kepada murid-muridnya dari suatu generasi kegenerasi
berikutnya.
kedua melalui pelatihan yang dilaksanakan dengan jalan membiasakan seseorang melakukan pekerjaan tertentu untuk memperoleh keterampilan mengerjakan pekerjaan tersebut.
ketiga melalui indoktrinnasi yang diselenggarakan agar orang meniru atau mengikuti apa saja yang diajarkan orang lain tanpa mengijinkan si penerima tersebut mempertanyakan nilai-nilai yang diajarkan.
kedua melalui pelatihan yang dilaksanakan dengan jalan membiasakan seseorang melakukan pekerjaan tertentu untuk memperoleh keterampilan mengerjakan pekerjaan tersebut.
ketiga melalui indoktrinnasi yang diselenggarakan agar orang meniru atau mengikuti apa saja yang diajarkan orang lain tanpa mengijinkan si penerima tersebut mempertanyakan nilai-nilai yang diajarkan.
Terkadang
apabila ingin membahas seputar Islam dalam Pendidikan merupakan suatu hal yang
sangat menarik terutama dalam kaitannya dengan upaya pembangunan Sumber Daya
Manusia muslim, sebagaimana Islam di pahami sebagai pegangan hidup yang
diyakini mutlak kebenarannya akan merai arah dan landasan etis serta moral
pendidikan, atau dengan kata lain hubungan antara Islam dan pendidikan bagaikan
dua sisi keping mata uang. Artinya, Islam dan pendidikan mempunyai hubungan
filosofis yang sangat mendasar baik secara ontologis, epistimologis maupun
aksiologis.
Pemikiran
di atas sejalan dengan falsafah bahwa sebuah usaha yang tidak mempunyai tujuan
tidak akan mempunyai arti apa-apa. Ibarat seseorang yang bepergian tak tentu
arah maka hasilnya adalah tidak lebih dari pengalaman selama perjalanan. Pada
dasarnya pendidikan merupakan usaha yang dilakukan sehingga dalam penerapannya
ia tak kehilangan arah dan pijakan. Namun sebelum masuk dalam pembahasan
mengenai fungsi dan tujuan pendidikan Islam terlebih dahulu perlu dijelaskan
apa pengertian Pendidikan Islam itu sendiri.
Zarkowi
Soejati dalam makalahnya yang berjudul “Model-model Perguruan Tinggi
Islam” mengemukakan pendidikan Islam paling tidak mempunyai tiga
pengertian. Pertama; lembaga pendidikan Islam itu pendirian dan
penyelenggaraannya didorong oleh hasrat mengejawantahkan nilai-nilai Islam yang
tercermin dalam nama lemabaga pendidikan itu dan kegiatan-kegiatan yang
diselenggarakan.
Kedua;
lembaga
pendidikan memberikan perhatian dan menyelenggarakan kajian tentang Islam yang
tercermin dalam program sebagai ilmu yang diperlukan seperti ilmu-ilmu lain
yang menjkadi program kajian lembaga pendidikan Islam yang bersangkutan.
Ketiga;
mengandung kedua pengertian di atas dalam arti lembaga tersebut memperlakukan
Islam sebagai sumber nilai bagi sikap dan tingkah laku yang harus tercermin
dalam penyelenggaraannya maupun sebagai bidang kajian yang tercermin dalam
program kajiannya.[5]
Konsep
pendidikan Islam sebagaimana dikemukakan Zarkowi Soejati tersebut, terkesan
sederhana dan belum terlalu luas cakupannya, namun paling tidak konsep ini bisa
diterapkan dalam upaya peningkatan sumberdaya manusia melalui pencerminan
penyelenggaraan pendidikan dan program kajian yang bernuansa Islami dalam
proses pemindahan nilai-nilai yang dimiliki dan dapat dibawah ke-masyarakat.
Adapun
pendapat lain mengatakan bahwa pengertian pendidikan Islam yaitu sebuah proses
yang dilakukan untuk menciptakan manusia-manusia yang seutuhnya : beriman dan
bertaqwa kepada Tuhan serta mampu mewujudkan eksistensinya sebagai khalifah
Allah di muka bumi, yang berdasarkan kepada ajaran Al-qur’an dan As-sunnah,
maka tujuan dan konteks ini terciptanya manusia seutuhnya “Insan Kamil”,
setelah proses pendidikan berakhir.
Sebagaimana
di tegaskan dalam Al-qur’an :
Artinya
:
“Sesunggunya
kami telah menciptakan manusia dalam bentuk sebaik-baiknya.”
Dalam
artian bahwa pendidikan Islam adalah proses penciptaan manusia yang memilki
kepribadian serta berakhlakul karimah “Akhlak Mulia” sebagai makhluk pengemban
amanah di bumi.
Maka
Pendidikan Islam adalah pendidikan yang mampu menyiapkan kader-kader khalifah,
sehingga secara fungsional keberadaannya menjadi pemeran utama terwujudnya
tatanan dunia yang rahmatan lil–‘alamin. Ditambahkan lagi bahwa
pendidikan Islam adalah pendidikan yang berwawasan semesta, berwawasan
kehidupan yang utuh dan multi dimensional, yang meliputi wawasan tentang Tuhan,
manusia dan alam secara integratif.
2.
Tujuan dan Fungsi Pendidikan Islam
Sebelum
lebih jauh menjelaskan tujuan pendidikan Islam terlebih dahulu apa sebenarnya
makna dari “tujuan” tersebut. Secara etimologi tujuan adalah “arah, maksud atau
haluan.[6] Termminologinya
tujuan berarti sesuatu diharapkan tercapai setelah sebuah usaha atau kegiatan selesai.
Oleh H.M. Arifin menyebutkan, bahwa tujuan proses pendidikan Islam adalah
“idealitas” (cita-cita) yang mengandung nilai-nilai Islam yang hendak dicapai
dalam proses kependidikan yang berdasarkan ajaran Islam secara bertahap.
Maka
secara umum, tujuan pendidikan Islam terbagi kepada: pertama tujuan umum
adalah tujuan yag akan dicapai dengan semua kegiatan pendidikan baik pengajaran
atau dengan cara lain. kedua, tujuan sementara adalah tujuan yang akan
dicapai setelah anak didik diberi sejumlah pengalaman tertentu yang
direncanakan dalam sebuah kurikulum. ketiga, tujuan akhir adalah tujuan
yang dikehendaki agar peserta didik menjadi manusia-manusia sempurna (insan
kamil) setelah ia menghabisi sisa hidupnya. Sementara keempat tujuan
oprasional adalah tujuan praktis yang akan dicapai dengan sejumlah kegiatan
pendidikan tertenru.
Sementara itu dalam Konferensi
Internasional Pertama tentang Pendidikan Islam di Mekah pada tahun 1977
merumuskan tujuan pendidikan Islam sebagai berikut :
“Pendidikan bertujuan mencapai
pertumbuhan kepribadian manusia yang menyeluruh secara seimbang melalui latihan
jiwa, intelek, diri manusia yang rasional perasaan dan indera. Oleh karena itu
pendidikan harus mencakup pertumbuhan manusia dalam segala aspeknya: spritual,
intelektual, imajinatif, fisik, ilmiah, bahasa, baik secara individu maupun
secara kolektif, dan mendorong semua aspek ini ke arah kebaikan untuk mencapai
kesempurnaan. Tujuan akhir pendidikan muslim terletak pada perwujudan
ketundukkan yang sempurna kepada Allah baik secara pribadi, komunitas, maupun
seluruh umat manusia”.[7]
Konsep di atas sejalan dengan
rumusan tujuan pendidikan Islam, yaitu meningkatkan keimanan, pemahaman,
penghayatan dan pengalaman anak tentang Islam, sehingga menjadi manusia muslim
yang beriman dan bertaqwa kepada Allah swt serta berakhlak mulia dalam
kehidupan pribadi, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Sehingganya dalam
konteks ini pendidikan Islam haruslah senantiasa mengorientasikan diri kepada
menjawab kebutuhan dan tantangan yang muncul dalam masyarakat kita sebagai
konsekuensi logis dari perubahan.
Dapat pula katakan, bahwa tujuan
pendidikan Islam adalah kepribadian muslim, yaitu sesuatu kepribadian yang
seluruh aspeknya dijiwai oleh ajaran Islam. Orang yang dalam kepribadian muslim
dalam Al-qur’an disebut “Muttaqin” karena itu Pendidikan Islam berarti pula
pembentukan manusia yang bertakwa, sebagaimana konsep pendidikan nasional yang
dituangkan dalam tujuan pendidikan nasional yang akan membentuk manusia
pancasila yang bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Dengan demikian jika dilakukan
rekonstruksi, maka menurut Islam ilmu yang selayaknya dikuasai manusia
merupakan perpaduan dari ilmu – ilmu yang diperoleh manusia melalui kawasan
alam semesta dengan ilmu yang dikirim melalui wahyu yang dapat ditangkap oleh
para nabi dan rasul. Dalam perspektif pendidikan Islam yang menyiapkan
manusia agar dapat melakukan perannya, baik sebagai khalifah maka
ilmu yang wajib dituntut adalah ilmu yang sifatnya terpadu, dan inilah ciri
khas pendidikan Islam.
Dilihat dari tujuan pendidikan di
atas maka dengan sendirinya terimplisit fungsi pendidikan Islam. Dapat
diartikan fungsi Pendidikan Islam adalah untuk menjaga keutuhan unsur–unsur
individu anak didik dengan mengoptimalkan potensinya dalam garis keridhaan
Allah, serta mengoptimalkan perkembangannya untuk bertahan hidup terhadap aspek
keterampilan setiap anak. Pendidikan Islam adalah pendidikan terbuka. Artinya
Islam mengakui adanya perbedaan, akan tetapi perbedaannya yang hakiki
ditentukan oleh amalnya. Oleh karena itu pendidikan Islam pada dasarnya
terbuka, demokratis, dan universal. Keterbukaan tersebut ditandai dengan
kelenturan untuk mengadopsi (menyerap) unsur–unsur positif dari luar, sesuai
perkembangan dan kebutuhan masyarakatnya, dan tetap menjaga dasar–dasarnya yang
original yang bersumber pada Al-Qur’an dan Al-hadits.
Singkatnya, pendidikan Islam secara
ideal berfungsi membina dan menyiapkan anak-anak dalam keluarga termasuk anak
didik yang berilmu, berteknologi, berketerampilan tinggi dan sekaligus beriman
dan beramal saleh. Oleh karena itu penjabaran materi pendidikan Islam
tidak hanya berkisar pada hal–hal yang berkaitan dengan masalah–masalah ubudiyah
yang khas (khusus) seperti shalat, puasa, zakat, haji dan lain–lain, akan
tetapi ubudiyah yang lebih umum dan luas, yaitu pengembangan ilmu sosial
sehingga anak dapat berinteraksi dengan lingkungannya secara baik maupun
pengembangan pengetahuan dan teknologi yang sangat bermanfaat dalam
meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan.
Dengan
demikian pendidikan menyandang misi keseluruhan aspek kebutuhan hidup serta
perubahan-perubahan yang terjadi.
C.
Perkembangan
Pendidikan Islam pada Masa Reformasi
Sejalan
dengan adanya berbagai perbaikan politik tersebut di atas, telah menimbulkan
keadaan pendidikan islam era reformasi keadaannya jauh lebih baik dari keadaan pemerintah era Orde Baru. Karena dibentuknya kebijakan-kebijakan pendidikan islam era reformasi, kebijakan itu antara lain:
Pertama, kebijakan tentang pemantapan pendidikan islam sebagai bagian dari System pendidikan nasional. Upaya ini dilakukan melalui penyempurnaan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1989 menjadi Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang system pendidikan nasional.Jika pada Undang-Undang No 2 Tahun 1989 hanya menyebutkan madrasah saja yang masuk dalam system pendidikan nasional, maka pada Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 manyebutkan pesantren, ma’had Ali, Roudhotul Athfal (Taman Kank-Kanak) dan Majlis Ta’lim termasuk dalam system pendidikan nasional.[8] Dengan masuknya pesantren, ma’had Ali, Roudhotul Athfal (Taman Kank-Kanak) dan Majlis Ta’lim ke dalam system pendidikan nasional ini, maka selain eksistensi dan fungsi pendidikan islam semakin diakui, juga menghilangkan kesan dikotomi dan diskriminasi. Sejalan dengan itu, maka berbagai perundang-undangan dan peraturan tentang standar nasional pendidikan tentang srtifikasi Guru dan Dosen, bukan hanya mengatur tentang Standar Pendidikan, Sertifikasi Guru dan Dosen yang berada di bawah Kementerian Pendidikan Nasional saja, melainkan juga tentang Standar Pendidikan, Sertifikasi Guru dan Dosen yang berada di bawah Kementerian Agama.
keadaan pendidikan islam era reformasi keadaannya jauh lebih baik dari keadaan pemerintah era Orde Baru. Karena dibentuknya kebijakan-kebijakan pendidikan islam era reformasi, kebijakan itu antara lain:
Pertama, kebijakan tentang pemantapan pendidikan islam sebagai bagian dari System pendidikan nasional. Upaya ini dilakukan melalui penyempurnaan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1989 menjadi Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang system pendidikan nasional.Jika pada Undang-Undang No 2 Tahun 1989 hanya menyebutkan madrasah saja yang masuk dalam system pendidikan nasional, maka pada Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 manyebutkan pesantren, ma’had Ali, Roudhotul Athfal (Taman Kank-Kanak) dan Majlis Ta’lim termasuk dalam system pendidikan nasional.[8] Dengan masuknya pesantren, ma’had Ali, Roudhotul Athfal (Taman Kank-Kanak) dan Majlis Ta’lim ke dalam system pendidikan nasional ini, maka selain eksistensi dan fungsi pendidikan islam semakin diakui, juga menghilangkan kesan dikotomi dan diskriminasi. Sejalan dengan itu, maka berbagai perundang-undangan dan peraturan tentang standar nasional pendidikan tentang srtifikasi Guru dan Dosen, bukan hanya mengatur tentang Standar Pendidikan, Sertifikasi Guru dan Dosen yang berada di bawah Kementerian Pendidikan Nasional saja, melainkan juga tentang Standar Pendidikan, Sertifikasi Guru dan Dosen yang berada di bawah Kementerian Agama.
Kedua,
kebijakan
tentang peningkatan anggaran pendidikan. Kebijakan ini misalnya terlihat pada
ditetapkannya anggaran pendidikan islam 20% dari Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara (APBN) yang di dalamnya termasuk gaji Guru dan Dosen, biaya
operasional pendidikan, pemberian beasisiwa bagi siswa kurang mampu, pengadaan
buku gratis, infrastruktur, sarana prasarana, media pembelajaran, peningkatan
sumber daya manusia bagi lembaga pendidikan yang bernaung di bawah Kementerian
Agama dan Kementerian Pendidikan Nasional. Dengan adanya anggaran pendidikan
yang cukup besar ini, pendidikan saat ini mengalami pertumbuhan, perkembangan,
dan kemajuan yang signifikan dibandingkan dengan keadaan pendidikan sebelumnya,
termasuk keadaan pendiidkan islam.
Ketiga,
program
wajib belajar 9 tahun, yaitu setiap anak Indonesia wajib memilki pendidikan
minimal sampai 9 tahun. Program wajib belajar ini bukan hanya berlaku bagi
anak-anak yang berlaku bagi anak-anak yang belajar di lembaga pendidikan yang
berada di bawah naungan Kementeria Pendidikan Nasional, melainkan juga bagi
anak-anak yang belajar di lembaga pendidikan yang berada di bawah naungan
Kementerian Pendidikan Agama.
Keempat,
penyelenggaraan
Sekolah Bertaraf Nasional (SBN), Sekolah Bertaraf Internasional (SBI), yaitu
pendidikan yang seluruh komponen pendidikannya menggunakan standar nasional dan
internasional. Dalam hal ini, pemerintah telah menetapkan, bagi sekolah yang
akan ditetapkan menjadi SBI harus terlebih dahulu mencapai sekolah bertaraf
SBN. Sekolah yang bertaraf nasional dan internasional ini bukan hanya terdapat
pada sekolah yang bernaung di bawah Kementerian Pendidikan Nasional, melainkan
juga pada sekolah yamg bernaung di bawah Kementerian Agama.
Kelima,
kebijakn
sertifikasi bagi semua Guru dan Dosen baik Negeri maupun Swasta, baik umum
maupun Guru agama, baik Guru yang berada di bawah naungan Kementerian
Pendidikan Nasional maupun Guru yang berada di bawah Kementerian Pendidikan
Agama. Program ini terkait erat dengan peningkatan mutu tenaga Guru dan Dosen
sebagai tenaga pengajar yang profesional. Pemerintah sangat mendukung adanya
program sertifikasi tersebut dengan mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 74 tahun 2005 tentang
sertifikasi Guru dan Dosen, -juga mengalokasikan anggaran biayanya sebesar 20% dari APBN. Melalui program
sertifikasi tersebut, maka kompetensi akademik, kompetensi pedagogik (teaching
skill), kompetensi kepribadian dan kompetensi sosial para Guru dan Dosen
ditingkatkan.
Keenam, pengembangan kurikulum berbasis kompetensi
(KBK/tahun 2004) dan kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP/tahun 2006). Melalui
kurikulum ini para peserta didik tidak hanya dituntut menguasai mata pelajaran
(subject matter)`sebagaimana yang ditekankan pada kurikulum 1995,[9]
melainkan juga dituntut memilki pengalaman proses mendapatkan pengetahuan
tersebut, seperti membaca buku, memahami, menyimpulkan, mengumpulkan data,
mendiskusikan, memecahkan masalah dan menganalisis. Dengan cara demikian para
peserta didik diharapkan akan memiliki rasa percaya diri, kemampuan
mengemukakan pendapat, kritis, inovatif, kreatif dan mandiri. Peserta didik
yang yang demikian itulah yang diharapkan akan dapat menjawab tantangan era
globalisasi, serta dapat merebut berbagai peluang yang terdapat di masyarakat.
Ketujuh, pengembangan pendekatan pembelajaran yang tidak
hanya terpusat pada Guru (teacher centris) melalui kegiatan teachimg, melainkan juga berpusat pada
murid (student centris) melalui kegiatan learnig (belajar) dan research (meneliti) dalam suasana yang
partisipatif, inovatif, aktif, kreatif, efektif, dan menyenangkan. Dengan
pendekatan ini metode yang digunakan dalam kegiatan belajar mengajar bukan
hanya ceramah, seperti diskusi, seminar, pemecahan masalah, penugasan dan penemuan.
Pendekatan proses belajar mengajar ini juga harus didasarkan pada asas
demokratis, humanis dan adil, dengan cara menjadikan peserta didik bukan hanya
menjadi objek pendidikan melainkan juga
sebagai subjek pendidikan yang berhak mengajukan saran dan masukan tentang
pendekatan dan metode pendidikan.[10]
Kedelapan, penerapan manajemen yang berorientasi pada
pemberian pelayanan yang naik dan memuaskan (to give good service and
satisfaction for all customers). Dengan pandangan bahwa pendidikan adalah sebuah
komoditas yang diperdagangkan, agar komoditas tersebut menarik minat, maka
komoditas tersebut harus diproduksi dengan kualitas yang unggul. Untuk itu
seluruh komponen pendidikan harus dilakukan standarisasi. Standar tersebut
harus dikerjakan oleh sumber daya manusia yang unggul, dilakukan perbaikan
terus menerus, dan dilakukan pengembangan sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
Berkaitan dengan ini, maka di zaman reformasi ini telah lahir Peraturan
Pemerintah Nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan (SNP) yang
meliputi :
1.
Standar Isi (kurikulum)
2.
Standar Mutu Pendidikan
3.
Standar Proses Pendidikan
4.
Standar Pendidik dan tenaga kependidikan
5.
Standar Pengelolaan
6.
Standar Pembiayaan
7.
Standar Penilaian.[11]
Kesembilan, kebijakan mengubah sifat madrasah menjadi
sekolah umum yang berciri khas keagamaan. Dengan ciri ini, maka madrasah
menjadi sekolah umum plus. Karena di madrasah (Ibtidaiyah, Tsanawiyah dan
Aliyah) ini, selain para siswa memperoleh pelajaran umum yang terdapat pada
sekolah umu seperti SD, SMP, dan SMU. Dengan adanya kebijakan tersebut, maka
tidaklah mustahil jika suatu saat madrasah akan menjadi pilihan utama
masyarakat.
Seiring dengan lahirnya berbagai kebijakan
pemerintah tentang pendidikan nasional telah disambut positif dan penuh
optimisme oleh seluruh lapisan masyarakat, terutama para pengelola pendidikan.
Berbagai inovasi dan kreatifitas dalam mengembangkan komponen-komponen
pendidikan telah bangyak bermunculan di
lembaga pendidikan. Melalui dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) telah
memberi peluang bagi masyarakat yang kurang mampu untuk menyekolahkan putra
putrinya. Melalui program sertifikasi Guru dan Dosen telah menimbulkan
perhatian kepada para Guru dan Dosen untuk melaksanakan tugasnya dengan baik.
Melalui program Kuirkulum Berbasis Kompetensi (KBK) dan Kurikulum Tingkat
Satuan Pendidikan (KTSP) telah melahirkan suasana akademik dan dan proses
belajar mengajar yang lebih kreatif, inovatif dan mandiri. Demikian juga dengan
adanya Standar Nasional Pendidikan telah timbul kesadaran gagi kalangan para
pengelola pendidikan untuk melakukan akreditasi terhadap program studi yang dilaksanakan.
kesimpulan
D.
Penutup
Berdasarkan
uraian dan analisis sebagaimana tersebut diatas, maka dapat di kemukakan beberapa
catatan penutup sebagai berikut.
Pertama,
pemerintah di era reformasi lahir sebagai koreksi, perbaiakan, dan
penyempurnaan atas berbagai kelemahan kebijakan pemerintah Orde Baru yang
dilakukan secarah menyeluruh, yang meluputi bidang politik, pendidikan,
kesehatan, dan lingkungan. Berbagai kebijakan tersebut diarahkan pada sifat
yang lebih demokratis, adil, transparan, akuntabel, bertanggung jawab dan fairness
dalam rangka mewujudkan masyarakat yang adil, makmur, tertib, aman, dan
sejahterah.
Kedua, Pendidikan bertujuan mencapai
pertumbuhan kepribadian manusia yang menyeluruh secara seimbang melalui latihan
jiwa, intelek, diri manusia yang rasional perasaan dan indera.
Dengan demikian pendidikan menyandang misi keseluruhan aspek kebutuhan hidup
serta perubahan-perubahan yang terjadi, dan pemerintahan di era reformasi teleh
melehirkan sejumlah kebijakan strategis dalam bidang pendidikan yang
pengaruhnya langsung dapat dirasakan masyarakat.yaitu, kebijakan tentang
pembaruan Undang-undang sistem pendidikan nasional dari Undang-undang Nomor 2
Tahun 1989 menjadi Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 peningkatan jumlah
anggaran pendidikan yang amat signifikan, yakni dari yang semula hanya 5%
menjadi 20% dari total anggaran APBN, perubahan kurikulum dari subjek matter ke arah pengembangan para
kompetensi para lulusan, peningkatan mutu pendidikan melalui program
sertifikasi, perubahan paradigma strategi, pendekatan dan metode pembelajaran
ke arah yang lebih terpusat pada peserta didik (studen center).
Ketiga,
barbagai kebijakan pemerintahan era roformasi dalam bidang pendidikan tersebut
berlaku bukan hanya bagi sekolah umum yang bernaung di bawah kementrian
pendidkan nasional saja, melainkan juga berlakau bagi madrasah dan perguruan
tinggi agama yang bernaung di bawah kementrian agama.dengan demikian kesan
dikotomis antar pendidikan agama dan pendidikan umum, dan kesan perlakuan
diskriminasi pemerintah terhadap pendidikan agama sudah tidak tampak lagi.
Daftar pustaka
DR. Armai Arif, M. A. Pengantar Ilmu
dan Metodologi Pendidikan Islam (Jakarta : Ciputat Pers, 2002)
Prof. H. Muhamad Daud Ali S.H. dan
Hj. Habiba Daud S.H. Lembaga-lembaga Islam di Indonesia (Jakarta : PT
Raja Grafindo Persada, 1995)
Departemen Pendidikan Dan
Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka 1995)
Undang-undang republik indonesia
Nomor 20 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional, (jakarta: departemen
pendidikan nasional, tahun 2003)
A. Malik Fajar, Reorientasi
Pendidikan Islam, (Jakarta : Fajar Dunia, 1999),
Prof. Dr. H. Abuddin Nata, M.A. sejarah pendidikan islam,(jakarta:
kencana 2011)
http//www.geoogle.com
[1] Dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2005 tentang Otonomi Daerah dinyatakan, bahwa
pemerintah daerah memiliki wewenang untuk mengatur berbagai urusan
pemerintahan, kecuali 5 hal yang masih bersifat sentralistik. Yaitu: (1)
departemen agama (2) departemen keuangan (3) departemen luar negeri (4)
departemen pertahanan keamanan (5) departemen kehakiman.
[2]
Lahirnya
Undang-Undang Otonomi Daerah adalah dalam rangka koreksi atas
penyimpangan yang dilakukan Orde Baru dalam pengaturan pemerintahan dengan UU
Nomor 5 Tahun 1974. Undang-Undang Otonomi Daerah tersebut adalah Undang-Undang
Nomor 22 Tahun 1999 tentang pemerintahan daerah, serta UU Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan
Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah.
[3] DR. Armai
Arif, M. A. Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam (Jakarta : Ciputat
Pers, 2002), h. 16.
[4] Prof.
H. Muhamad Daud Ali S.H. dan Hj. Habiba Daud S.H. Lembaga-lembaga Islam di
Indonesia (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 1995), h. 137
[5]
A. Malik Fajar, Reorientasi Pendidikan Islam, (Jakarta
: Fajar Dunia, 1999), h. 31
[6] Departemen
Pendidikan Dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai
Pustaka 1995), edisi ke-2, Cet, ke-4, h. 1077
[7]
Azyumardi Azra, opcit.,
h. 57
[8]
Perubahan Undang-Undang Nomor 2 tahun 1989 menjadi
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang
terdapat kekurangan atau kelemahan pada UU No 2
Tahun 1989, yaitu: (1) Sistem Pendidikan Nasional yang bersifat
sentralistik; (2)belum menghasilkan lulusan pendidikan yang bermutu dan
bersaing dengan negara lain; (3)belum mengemban misi pendidikan untuk semua;
(4) belum dapat mendukung lahirnya peserta didik yang berakhlak mulia; (5)belum
memperhatikan keadaan masyarakat Indonesia yang heterogen dan multikulttural;
(6)belum dilaksakan secara profesional.
[9]
Pada kurikulum tahun 1995 menekankan pada punguasaan
materi pelajaran sebanyak-banyaknya tanpa disertai dengan keterampilan proses
memahami dan mempraktekkan materi pelajaran tersebut. Kurikulum yang demikian
menyebabkan lahirnya para lulusan yang tidak memiliki kompetensi yang
diperlukan untuk membangun manusia yang aktif dan kreatif.
[10] Agar pendekatan dapat diwujudkan, maka perlu
adanya perubahan metode belajar mengajar pada pendekatan kita, yaitu: (1)
mengubah cara belajar dari model warisan menjadi memecahkan masalah; (2)dari
hafalan ke dialog; (3) dari pasif ke heuristic; (4) dari strategi menguasai
materi sebanyak-banyaknya menjadi menguasai metodologi yang kuat.
[11]
Lihat Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2005 tentang
Standar Nasional Pendidikan, (2005, Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional).